COMMITMENT

Kata-kata ini sering kita dengar, terutama pada saat forum diskusi atau pertemuan yang membahas program-program kerja dalam sebuah organisasi. Komitmen, cuma satu kata tapi bermakna luas, bagaimana tidak, karena tanpa satu kata ini segala sesuatu yang menjadi tujuan akan menjadi kandas ditengah jalan. Sebuah organisasi dikatakan sudah mulai tidak efektif jika, beberapa karyawan sudah tidak lagi ingin kompak satu sama lain. Betapa tidak untuk mendorong karyawan agar mau terlibat dalam kegiatan atau meeting yang tidak langsung berdampak ke pekerjaan, seperti kegiatan health and safety, 5R atau 5S, kemudian acara kerohanian, dan lain-lain, harus dipaksa, bahkan ditakut-takuti misalnya dengan absensi kehadiran. Padahal kegiatan-kegiatan tersebut memberikan dampak positip bagi para individu. Disinilah sesungguhnya kita bisa menyaksikan ketidak efektifan sebuah organisasi. Karena terhambatnya informasi yang mengalir dari atas (pucuk pimpinan) sampai ke bawah, atau bahkan dari pucuk pimpinan itu sendiri yang tidak menginginkan hal ini mengalir.
Banyak sekali ribut-ribut diperusahaan yang diakhiri dengan komentar, “padahal ini cuma masalah komunikasi”. Kita banyak lupa bahwa tidak efektifnya komunikasi merupakan “dosa” manajemen yang sangat besar. Dampak lain dari ketidak efektifan adalah karyawan tidak terkoneksi dengan misi perusahaan, merasa “tertinggal dalam gelap” dan tidak memahami bagaimana berpartisipasi dan melibatkan diri. Tidak efektifnya komunikasi ini, dalam keadaan parah tidak bisa terdeteksi lagi. Semua rencana dan tindakan hanya bersifat mengambang. Disinilah kita perlu waspada terhadap matinya spirit perusahaan atau lembaga karena sakitnya komitment.
Dari Komtiment ke Laba Perusahaan
Sudah tidak zamannya lagi orang menomorduakan komitment karyawan didalam pertimbangan pengembangan organisasi, karena jelas-jelas komitment karyawan sudah menjadi daya saing usaha utama dalam bisnis. Banyak juga ditemui karyawan yang komitmennya normative. Mereka hanya melakukan segala sesuatu yang diperintahkan organisasi, walaupun tindakan tersebut belum tentu sesuai dengan keinginan pribadinya. Untuk itulah dibutuhkan peran perusahaan untuk memancing  sebanyak-banyaknya komitmen afektif, dimana passion dan kesungguhan individu untuk berkontribusi, mengkompakan diri berlandaskan kesamaan pemikiran, sasaran dan idealisme profesinya dengan perusahaan. Komitmen sampai level afektif dan passion ini tentunya tidak didapatkan secara gratis karena sesungguhnya bermula dari kemudahan, konsistensi dan kejelasan system dan prosedur di perusahaan. Kejelasan aturan main menjadikan karyawan bisa mengandalkan dan berpegang pada aturan. Dalam perkembangannya, karyawan jadi bisa tahu dimana, ia bisa “ikut bermain” dan menikmati pekerjaanya, bahkan memperbaiki kinerjanya dari waktu ke waktu. Hanya dalam tingkatan inilah komitmen karyawan perusahaan bisa terasa oleh pelanggan, sehingga pada akhirnya pelanggan pun komit untuk berbisnis dengan perusahaan. Bila sudah mencapai tingkatan ini, perusahaan baru bisa mengeruk keuntungan bermodalkan komitmen karyawan.
Komitmen : Penyatuan Risiko dengan Tindakan
Menurut para ahli, komitment sangat berbeda dari janji atau sekedar pelaksanaan kewajiban. Kewajiban berasal dari otoritas eksternal , sementara komitmen berasal dari dalam diri seseorang. Selain itu komitmen mengandung bobot yang jauh lebih tinggi, karena berkomit berarti menyadari dan bersedia menerima resiko tindakan yang sudah diputuskan untuk diambil oleh individu. Seorang pimpinan yang sudah berkomitmen untuk mencapai level KPI (key performance indicator) tertentu, akan serta merta mengerahkan segala upaya untuk mencapainya. Tentunya ada resiko ia tidak di sukai oleh anak buah, karena anak buahnya didera untuk bekerja keras. Namun, tanpa pengambilan resiko tersebut, komitmen atasan akan terasa hampa, ringan tidak bertenaga. Di sini, komitmen justru member “flavor” pada kerja keras kelompok. Dalam sebuah kelompok kerja, komitmen akan terasa bila individu dalam kelompok mau “tune in”, mendukung “action”, bersedia untuk di expose, siap bertangung jawab terhadap tugas, dan bahkan ikut serta dalam mengatasi dilema yang pasti muncul dalam mengembangkan tugas. Dari sini jelas kita bisa melihat bahwa gejala “loh kok saya ?” atau “bukan saya, pak..”, tidak laku, karena sikap defensive hanyalah pertanda bahwa komitmen individu tidak ada.
Komitmen itu Pilihan
Individu yang memilih untuk komit biasanya sudah melalui proses pertimbangan terhadap kebutuhan dan visinya sendiri dan juga sudah yakin akan dampak sikapnya. Karena itu, individu yang berkomitmen tinggi, bisa memberikan “impact” yang lebih besar di pekerjaan, lebih persuasive, lebih terbuka terhadap kemungkinan dan kritik. Pilihan perilaku yang diambil seseorang yang berkomitmenpun akan diarahkan pada dua hal yang sangat penting, yaitu mendukung dan mengembangkan, karena hanya dengan sikap seperti inilah kelompok dapat maju dan mencapai tujuan yang sudah sama-sama dipahami. Rapat-rapat yang diikuti oleh orang-orang berkomitmen tinggi akan memakan waktu jauh lebih singkat daripada bila individu peserta rapat ragu akan komitmennya. Jadi, komitmen adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bagaimana dengan anda………

References :
1. Beberapa Dosa Manajemen Dalam Sebuah Organisasi, Doni Adriansah 2007
2. Kompas,  Edisi 2008

Strategi Pemasaran Berdasarkan Product Life Cycle (Part 3)

Maaf, buat sebagian temen-temen yang sudah via japri menanti edisi selanjutnya mengenai “Strategi Pemasaran Berdasarkan Product Life Cycle”. Kalau dalam sharing saya sebelumnya menceritakan tahapan sederhana tentang Product Life Cycle beserta solusi-solusi sederhana untuk memperpanjang life cycle dan beberapa strateginya, maka dalam sharing kali ini saya mencoba memberikan gambaran sederhana, bagaimana strategi ini terintegrasi dalam aplikasi-aplikasi enterprise. Dari beberapa informasi yang pernah saya baca dan pelajari, berkenaan dengan adanya aplikasi-aplikasi yang terintegrasi dalam bisnis transformasi dewasa ini, maka tidaklah heran jika strategi diatas di submitkan kedalam sebuah enterprise. Bagi para CIO mungkin sudah mengenal berbagai istilah dalam dunia TI, yang kebetulan selalu terdiri dari tiga huruf, apakah itu ERP, CRM, SCM dan aplikasi-aplikasi berskala enterprise lainnya. Kini, datang istilah lain: PLM, singkatan dari Product Lifecycle Management.
Meski relatif muda, PLM sudah bisa unjuk gigi, paling tidak dari pangsa pasarnya. ARC Advisory Group misalnya, memperkirakan pasar piranti lunak dan PLM akan tumbuh dari 6,3 miliar dolar AS tahun 2003 menjadi sekitar 14,1 miliar dolar AS di tahun 2007. Sementara, menurut AMR Research, sekalipun berada di tengah masa sulit, berbagai perusahaan manufaktur AS dari berbagai sektor industri telah mengucurkan investasi cukup besar - 2,3 miliar dolar AS.
Mengapa perusahaan-perusahaan ini bersedia mengambil risiko, sekalipun mereka sudah cukup direpotkan dengan penggelaran aplikasi enterprise lainnya? Alasannya, karena potensi PLM bisa mendongkrak kemampuan perusahaan dalam berinovasi melempar produk ke pasar dan mengurangi berbagai kesalahan.
Aplikasi-aplikasi PLM menjanjikan pengaliran secara mulus seluruh informasi yang dihasilkan seluruh tahapan siklus sebuah produk ke siapa pun dalam lingkungan perusahaan, maupun para pemasok dan pelanggan utama. Sebuah perusahaan otomotif misalnya, bisa menciutkan waktu yang dibutuhkan untuk memperkenalkan produk baru dalam sejumlah cara. Para insinyur produk bisa secara dramatis memperpendek siklus pengimplementasian dan persetujuan perubahan-perubahan bersifat teknis di sepanjang rantai desain (design chain).
Bagian pembelian pun bisa bekerja lebih efektif dengan para pemasok untuk penggunaan ulang berbagai komponen. Dari sisi eksekutif, mereka bisa melihat secara keseluruhan semua informasi produk yang penting, mulai dari rincian jalur produk sampai kegagalan komponen, yang dipilih dari data garansi dan informasi yang dikumpulkan di lapangan.
Dorongan untuk menekan biaya, inovasi berbasis tuntutan pelanggan, dan memangkas waktu yang dibutuhkan untuk melempar produk baru ke pasar memperluas daya tarik teknologi PLM ke lebih banyak industri, khususnya yang diregulasi secara ketat seperti industri consumer package goods (CPG), farmasi, dan life science.
Untuk menggali potensi PLM ini dibutuhkan kerja keras, khususnya para CIO – bahkan mungkin lebih dibandingkan penggelaran aplikasi enterprise lainnya. Tidak seperti ERP, yang biasanya digunakan untuk mengganti berbagai sistem yang sudah ketinggalan zaman, PLM membutuhkan banyak pengintegrasian dari berbagai lumbung database dan mendorong orang-orang dari berbagai latar belakang fungsi bisnis bekerjasama lebih baik.
PLM lebih merupakan strategi ketimbang sistem untuk pengintegrasian dan pembagian informasi mengenai produk antar berbagai aplikasi dan di antara berbagai bagian, seperti rekayasa, pembelian, produksi, pemasaran, penjualan dan purna jual.
Karena PLM berkembang dari piranti lunak desain produk, seringkali CIO menyerahkannya ke para perekayasa, yang secara tradisional mengelola penggelaran teknologinya. Sekalipun cocok untuk memilih perangkat solusinya, seperti CAD (computer aided design), namun PLM tidak cocok diterapkan untuk platform terintegrasi yang menjangkau keseluruhan perusahaan. 

Product lifecycle management (PLM)
Adalah sebuah pendekatan terintegrasi dan bersifat information-driven untuk seluruh aspek dari umur produk, mulai dari desainnya sampai tahap manufaktur, penggelaran dan pemeliharaannya dan berpuncak pada penggeseran produk dan tempat pembuangan akhir. Piranti lunak PLM memungkinkan pengaksesan, pembaruan, pemanipulasian dan pengartian mengenai informasi produk yang tengah diproduksi dalam suatu lingkungan terpisah dan tersebar. Definisi lain PLM adalah pengintegrasian sistem bisnis untuk mengelola silklus hidup suatu produk Bagian produksi dan rekayasa misalnya, bekerja dengan beberapa versi bill of material – yaitu daftar komponen dan sub-rakitan yang membentuk sebuah produk – berbeda. Demikian pula halnya dengan bagian pembelian, yang juga bergantung pada daftar vendor dan katalog yang sudah disepakati.
Agar PLM berhasil, perlu mengatasi masalah-masalah sensitif seperti membangun standar data dan merancang arsitektur integrasi korporat, sehingga informasi yang terfragmentasi tersebut bisa melayani para individu dalam format yang bisa mereka gunakan. Dengan cara ini, para pihak dari berbagai divisi dibekali perangkat untuk membuat keputusan penting seperti :
  • Produk apa yang akan diperkenalkan atau fitur-fitur apa yang perlu disertakan dalam sebuah tahapan desain.
  • Pada saat dan dengan cara paling hemat biaya, bukannya pada tahapan pembelian komponen atau bahkan ketika masuk dalam proses produksi.
Di sisi lain, tanpa panduan CIO mengenai PLM, “Besar kemungkinan pucuk pimpinan masing-masing fungsional akan mengambil keputusan mengenai apa yang terbaik buat mereka, bukannya mencari sebuah solusi yang bersifat global. Hasil pengambilan keputusan yang terdesentralisasi ini adalah standar yang simpang siur dan siapa lagi kalau bukan CIO yang membereskan kekacauan ini.
Cara terbaik bagi para CIO untuk menghindari jebakan ini adalah memosisikan dirinya sebagai chief architect untuk strategi PLM sekaligus sebagai pemimpin perubahan. Tugas pertama adalah menggariskan road map teknologinya, merencanakan infrastruktur untuk mendukung integrasi lintas-aplikasi dan membantu memilih vendor yang tepat.
Pekerjaan selanjutnya adalah memimpin pasukan, dengan bantuan para eksekutif bisnis kunci tentunya, untuk mengubah cara bekerja dalam proses kerja. Terakhir, melihat kondisi perekonomian belum cerah, sudah menjadi tugas CIO untuk menentukan bagian-bagian mana PLM paling bisa memberikan hasil sesegera mungkin. Dan yang pasti pada tahapan awal implementasi PLM ini membutuhkan investasi yang memang cukup besar.

References :
  1. Doni Adriansah, Hubungan Strategi Pemasaran Berdasarkan Product Life Cycle
  2. Kotler, Philip dkk., 2003, Marketing Management An Asian Perspective, Edisi Ketiga, Singapore: Prentice Hall Pearson Education Asia Pte Ltd.
  3. eBizz Asia

    Translate

    English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
    by : donijaua

    Mengenai Saya

    Foto saya
    Lahir di Sidoarjo,Alumni UI (Universitas Indonesia-Industrial Engineering), dan ITS Surabaya (Power Electrical). Th 1996-1997 di vendor JVC SBY. Th 1997-2006 di PT. Mulia Industrindo sebagai Sr Prod.SPV, Chief Secretary PSM (Process Safety Management), peserta Workshop Implementasi Lean Manufacture selama 4 th yg di sponsori oleh Pemerintah RI (Deperindag) Negara Japan (JODC/Japan Organization for Development Country) dari Toyota Corp Nagoya Japan Mazda Japan. Th 2006-2008 Manager at Group TRIPUTRA. Finalis Suggestion System pd Forum Komunikasi Mutu. Ketua Komite 6S, Kaizen Blitz. Th 2008 s/d 2010 group perusahaan Tiga Pilar sebagai Business Development & Industrial Engineering. Th 2010 - 2012 Manager at DB Encosys. 2012 - Now Manager at MKA Group Specialist in Coldchain Distribution. Certification: Six Sigma for Green Belt, Toyota Production System (TPS), Production Management (PQM), Practical Problem Solving Decision Making (PQM), Konvensi Tingkat Nasional (GKM). Menjabat Ketua RT perum Kt Legenda BKS, Ketua Ranting IPNU 1994, Pendiri organisasi Moss Nature lover BKS,Ketua Karang Taruna 2004. Juga menggeluti Entrepreneur (Batik).

    Waktu Berharga

    Kalender Kita

    Weather

    Berita Kini

    More..

    My Bloglog

    Powered By Blogger

    Pengikut

    Cari Blog Ini